Cinta adalah anugerah Allah SWT yang hadir di setiap tahap kehidupan manusia, termasuk di masa remaja. Banyak remaja mulai merasakan ketertarikan, kekaguman, atau perhatian khusus kepada lawan jenis.
Sebagai penyuluh agama, saya sering bertemu para remaja yang bingung menghadapi perasaan ini—takut salah langkah, namun juga takut dianggap berbuat maksiat bila tidak segera “diikat” dengan pernikahan.
Padahal, cinta di masa remaja adalah perasaan yang wajar, tetapi tidak harus berujung pada pernikahan. Mengapa demikian? Berikut beberapa refleksi yang perlu kita pahami bersama.
1. Remaja Sedang Berproses, Bukan Siap Berkomitmen Seumur Hidup
Islam mengajarkan bahwa pernikahan bukan sekadar menyatukan dua hati, tetapi menyatukan dua tanggung jawab besar:
- tanggung jawab nafkah,
- kedewasaan emosional,
- kesiapan mental,
- kemampuan memimpin rumah tangga,
- dan kesanggupan menghadapi ujian kehidupan.
Pada usia remaja, sebagian besar dari kesiapan ini belum terbentuk secara matang. Perasaan cinta boleh jadi kuat, tetapi kesiapan berumah tangga belum tentu ada.
2. Cinta Remaja Sering Bersifat Sementara dan Dipengaruhi Emosi
Di masa remaja, perkembangan hormon, lingkungan sosial, dan pencarian jati diri sangat memengaruhi perasaan.
Apa yang hari ini terlihat seperti cinta sejati, beberapa bulan kemudian bisa berubah menjadi pertemanan biasa.
Inilah mengapa Islam menekankan kesabaran dan pengendalian diri, bukan terburu-buru menikah hanya karena perasaan yang sedang menguat.
Baca Juga: Risiko Menikah Terlalu Muda menurut Ulama dan Ahli Kesehatan Reproduksi
3. Menunda Pernikahan Adalah Upaya Menjaga Masa Depan, Bukan Menghalangi Bahagia
Sebagai penyuluh, saya sering memberi pemahaman bahwa:
“Menunda bukan berarti menolak. Menunda adalah bentuk ikhtiar menjaga diri dan masa depan.”
Remaja yang masih dalam masa sekolah atau belum memiliki keterampilan hidup akan menghadapi risiko besar bila memaksakan pernikahan:
- putus sekolah,
- ketergantungan ekonomi,
- konflik rumah tangga,
- hingga kekerasan dalam hubungan.
Memberi kesempatan bagi remaja untuk belajar, berprestasi, dan mematangkan diri justru menjadi bentuk cinta terbaik—baik untuk dirinya maupun calon pasangannya kelak.
4. Cinta Bisa Dijaga dengan Cara yang Baik
Islam tidak melarang seseorang menyukai orang lain. Yang dilarang adalah cara mengekspresikan cinta dengan perilaku yang membawa pada dosa dan kerusakan.
Remaja dapat diarahkan menuju:
- pertemanan yang sehat,
- aktivitas positif di masjid dan sekolah,
- fokus pada belajar dan pengembangan diri,
- serta menjaga batasan dalam berinteraksi.
- jika memang terlalu sulit ditahan, maka Islam mengajarkan untuk berpuasa.
Ketika saatnya tiba, cinta yang pernah dijaga dengan baik justru bisa menjadi berkah yang mempersatukan dalam pernikahan yang matang dan diridhai Allah.
Baca Juga: Peran Remaja Masjid dalam Menolak Budaya Nikah Muda
5. Orang Tua dan Masyarakat Harus Menjadi Pendamping, Bukan Pendorong Nikah Dini
Sering saya temui orang tua yang khawatir anaknya “salah pergaulan”, sehingga memilih menikahkan anak di usia sangat muda.
Padahal solusi terbaik bukanlah mempercepat pernikahan, tetapi memperkuat pembinaan, komunikasi, dan bimbingan agama.
Orang tua yang dekat dengan anak, memahami dunia remaja, dan mau berdialog akan jauh lebih berhasil mencegah masalah dibandingkan menikahkan anak sebelum waktunya.
Penutup
Cinta remaja adalah fitrah, ia datang sebagai tanda bahwa hati sedang tumbuh dan belajar memahami kehidupan. Namun cinta tidak boleh mengalahkan akal dan pertimbangan matang.
Sebagai penyuluh agama, saya percaya bahwa tugas kita bukan mematikan perasaan remaja, melainkan membimbing mereka untuk mengelola perasaan itu dengan bijak, menjaga diri, dan menyiapkan masa depan yang lebih baik.
Pada akhirnya, cinta yang tumbuh di waktu yang tepat dan dengan kesiapan yang matang akan menjadi cinta yang penuh keberkahan.
-rosmala


0 Comments