Fenomena nikah muda masih menjadi topik hangat dalam masyarakat. Di satu sisi, ada yang menganggapnya sebagai langkah baik untuk menjaga diri. Di sisi lain, banyak yang tidak melihat risiko dan dampaknya. Sayangnya, tidak sedikit remaja dan orang tua yang mempercayai mitos seputar nikah muda tanpa mengetahui fakta sebenarnya.
Sebagai penyuluh agama, saya sering menemukan pandangan yang keliru, sehingga perlu diluruskan agar masyarakat bisa mengambil keputusan dengan bijak. Berikut beberapa mitos yang paling sering muncul—dan perlu diklarifikasi.
1. “Nikah agar tidak maksiat.”
Saya sangat setuju dengan pernyataan ini, bahwa menikah adalah solusi agar tidak maksiat.
Benar bahwa Islam menekankan penjagaan diri, tetapi menikah di usia muda bukan satu-satunya cara. Bahkan, jika menikah dilakukan sebelum matang, justru bisa membuka masalah baru:
- pertengkaran,
- beban nafkah,
- kurangnya kesiapan mental,
- hingga risiko kesehatan reproduksi.
Pencegahan maksiat bukan bergantung hanya pada pernikahan di usia terlalu muda, tetapi pada pendidikan, lingkungan baik, penguatan iman, dan pendampingan orang tua.
Baca Juga: Peran Remaja Masjid dalam Menolak Budaya Nikah Muda
2. “Menikah muda itu sunnah.”
Sebelumnya, mari kita baca hadits Nabi Muhammad SAW di bawah ini dengan seksama yaa:
Dari Abdullah bin Mas’ud, beliau berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkata kepada kami,“Wahai para pemuda, siapa yang sudah mampu menafkahi biaya rumah tangga, hendaknya dia menikah. Karena hal itu lebih menundukkan pandangannya dan menjaga kemaluannya. Siapa yang tidak mampu, hendaknya dia berpuasa, karena puasa dapat meringankan syahwatnya.”
Sunnah yang benar adalah menikah ketika sudah mampu (secara mental, fisik, ekonomi, dan spiritual). Nabi tidak pernah memerintahkan menikah pada usia yang sangat muda. Yang beliau tekankan adalah:
“Barang siapa mampu, maka menikahlah.”Artinya, ukuran utamanya adalah kemampuan, bukan usia.
Jika belum mampu, Nabi justru menganjurkan puasa sebagai latihan pengendalian diri, bukan pernikahan.
Baca Juga: Menikah Butuh Niat yang Lurus, Bukan Sekedar untuk Pindah Status
3. “Lebih cepat menikah, lebih cepat mapan.”
Kenyataannya, justru sebaliknya. Banyak remaja yang menikah muda akhirnya:
- putus sekolah,
- sulit mendapat pekerjaan layak,
- bergantung pada orang tua atau mertua,
- rentan mengalami tekanan ekonomi.
Kemapanan tidak datang dari menikah lebih cepat; kemapanan datang dari pendidikan dan keterampilan hidup yang baik.
Baca Juga: Risiko Menikah Terlalu Muda menurut Ulama dan Ahli Kesehatan Reproduksi
4. “Kalau sudah suka sama suka, lebih baik menikah.”
Perasaan suka itu wajar, terutama di masa remaja. Namun perasaan tidak cukup menjadi landasan pernikahan. Rumah tangga membutuhkan:
- kesabaran,
- kemampuan komunikasi,
- kemampuan mengelola emosi,
- manajemen keuangan,
- dan kedewasaan berpikir.
Jika menikah hanya karena suka, rumah tangga mudah rapuh ketika menghadapi masalah pertama.
Baca Juga: Cinta Remaja: Perasaan yang Wajar, Tapi Tidak Harus Berujung pada Pernikahan
5. “Anak perempuan kalau tidak cepat dinikahkan, nanti jadi beban keluarga.”
- pendidikan,
- masa depan cerah,
- perlindungan,
- dan kesempatan mengembangkan diri.
Menikahkan anak perempuan sebelum matang justru memutus kesempatan itu dan dapat menempatkannya pada risiko kesehatan, mental, dan ekonomi.
Jadi. Mitos seputar nikah muda sering terdengar meyakinkan, tetapi tidak selalu sesuai dengan ajaran agama maupun realitas kesehatan dan sosial. Pernikahan adalah ibadah mulia yang membutuhkan kesiapan menyeluruh. Menunda hingga matang bukan berarti menolak pernikahan, tetapi ikhtiar untuk menjaga keberkahan dan masa depan.
Sebagai penyuluh agama, tugas kita adalah memberikan pencerahan agar remaja dan orang tua memahami bahwa keputusan menikah harus berdasarkan ilmu, bukan mitos.
-rosmala


0 Comments